Mengubah Paradigma Penanganan Kekerasan, STIA Pembangunan Gandeng LLDIKTI Wilayah VII dan GPP Fokus pada Pemulihan Korban

Mengubah Paradigma Penanganan Kekerasan, STIA Pembangunan Gandeng LLDIKTI Wilayah VII dan GPP Fokus pada Pemulihan Korban

Senin, 22 Des 2025, 20:53:08 WIB - 22 Hit

Stiapembangunanjember.ac.id – Penanganan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi seringkali terjebak pada obsesi pembuktian dan penghukuman pelaku, sementara nasib korban terabaikan. 

Paradigma inilah yang coba diubah oleh Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Pembangunan Jember melalui pendalaman materi Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024, Senin (22/12/2025).

Dalam forum edukasi yang digelar di Aula Kampus ini, tiga narasumber ahli dari latar belakang berbeda—birokrat, akademisi, dan aktivis—sepakat bahwa "kampus aman" dimulai dengan keberpihakan pada korban.

Agung Yundi, S.H., M.H., Analis SDM Aparatur dari LLDIKTI Wilayah VII Jawa Timur, menyoroti kesalahan umum yang sering dilakukan kampus saat pertama kali menangani kasus.

"Penanganan kekerasan bukan hanya tentang menangani pelaku. Langkah yang harus diambil jika terjadi kasus, yang tidak kalah penting adalah bagaimana menangani korban dengan benar," tegas Agung.

Agung memaparkan bahwa proses pemeriksaan dan sanksi hanyalah satu dari empat pilar penanganan. Tiga pilar lainnya—yang sering dilupakan—adalah Pendampingan, Perlindungan, dan Pemulihan .

"Mungkin tidak setiap proses pemeriksaan dapat memberikan hasil yang optimis (pembuktian bersalah). Tapi proses pendampingan, pemulihan, dan perlindungan tidak boleh pesimis," ujar Agung mengutip praktik baik di LLDIKTI VII. 

Ia menekankan bahwa meskipun bukti kurang atau korban enggan melapor, jaminan keamanan dan pemulihan trauma wajib diberikan.

Perspektif kritis juga datang dari Suminah (Mimin), Direktur Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember. Mimin memperluas definisi kekerasan yang selama ini dipahami secara sempit.

Mengacu pada Permendikbudristek 55/2024, Mimin menjelaskan bahwa kekerasan tidak hanya fisik atau seksual, tetapi juga mencakup diskriminasi, intoleransi, dan kebijakan yang mengandung kekerasan.

"Kebijakan yang mengandung kekerasan adalah kebijakan tertulis maupun tak tertulis yang berpotensi menimbulkan kekerasan. Contohnya, kampus yang kurang penerangan atau pengamanan karena alasan efisiensi anggaran, atau kampus yang melindungi pelaku kekerasan," papar Mimin.

Mimin juga menekankan pentingnya memahami payung hukum yang berlapis, mulai dari UUD 1945, UU TPKS, hingga UU ITE dalam melindungi mahasiswa dari kekerasan berbasis gender maupun daring.

Sementara itu, dari sisi internal kampus, Dr. Ivana Septia Maharani, M.Pd.I., selaku Ketua Satgas PPKPT STIA Pembangunan Jember, menegaskan kesiapan timnya dalam menjalankan mandat regulasi baru ini.

Ivana menjelaskan bahwa Satgas PPKPT memiliki fungsi vital yang tidak hanya reaktif menerima laporan, tetapi juga proaktif melakukan edukasi, sosialisasi kesetaraan gender, dan memfasilitasi kebutuhan disabilitas. Ia menutup sesi dengan sebuah refleksi tajam bagi dunia pendidikan.

"Budaya keras tidak membentuk karakter, tapi menghancurkan potensi," tegas Ivana.

Kolaborasi materi dari ketiga narasumber ini memberikan bekal teknis yang komprehensif bagi sivitas akademika STIA Pembangunan, memastikan bahwa regulasi Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 tidak hanya menjadi dokumen di atas kertas, melainkan sebuah gerakan nyata untuk memanusiakan manusia di lingkungan kampus.